KOMPAS.com - Beberapa kalangan berpendapat bahwa pembelian saham PT Freeport Indonesia (PTFI) bisa menunggu tahun 2021 saat Kontrak Karya (KK)-nya berakhir. Dengan begitu Indonesia akan dengan sendirinya memiliki PTFI secara gratis. Benarkah demikian?
Hal itu dibantah Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM Hufron Asrofi. Dalam keterangan tertulis yang Kompas.com terima dari Inalum, Kamis (17/1/2018), ia mengatakan bahwa bila menanti sampai kontrak berakhir tahun 2021 maka akan merugikan Indonesia.
“Menunggu sampai KK berakhir dan tidak memperpanjangnya, selain lebih mahal juga menempatkan kedua pihak dalam situasi lose-lose situation dan memburamkan iklim investasi nasional,” kata dia.
Hufron pun menjelaskan besarnya dampak yang terjadi jika hak perpanjangan berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PTFI tidak diberi saat KK berakhir
Baca juga: Saham Freeport Tidak Bisa Diperoleh Secara Gratis
Pertama, PTFI berpotensi melakukan gugatan sengketa arbitrase internasional. Terlepas dari ketidakpastiannya peluang Indonesia untuk menang, sudah pasti nasib ribuan tenaga kerja Indonesia di PTFI dipertaruhkan.
Selain itu, ada kemungkinan ketidakpastian penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) bagi pemerintah Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua.
“Jika ambil jalur arbitrase dampaknya operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan. Ini akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah, sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia,” kata Hufron.
Adapun, dampak kedua, kata Hufron, adalah ekonomi Mimika akan terhenti karena sekitar 90 persen ekonomi mereka digerakan oleh kegiatan PTFI.
Di KK itu pun tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis.
Untuk itu, Hufron Asrofi menegaskan bahwa perpanjangan masa operasi yang diberikan ke PTFI dan pembelian saham mayoritas perusahaan tersebut oleh Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) sudah sesuai dengan ketentuan hukum.
Baca juga: Soal Kontrak Freeport, Mahfud MD Angkat Bicara
Hal senada diutarakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. Ia menjelaskan karena sistemnya adalah KK yang sah, maka Freeport selalu mengancam akan membawa ke arbitrase jika dipaksa mendivestasikan saham 51 persen kepada Indonesia.
“Meski bisa dihadapi tetapi tetap tidak ada jaminan menang bagi Indonesia jika ke arbitrase,” tutur Mafud juga dalam keterangan tertulis yang Kompas.com tersebut.
Pendapat sama dikemukakan pula anggota Komisi 7 DPR RI, Adian Napitupulu, dalam sebuah diskusi baru-baru ini. Ia mengatakan, apa yang terjadi di sektor minyak dan gas (migas) dengan Freeport adalah berbeda, sehingga PTFI tidak bisa didapatkan secara gratis.
“KK di sektor tambang, dalam hal ini PTFI, tidak sama dengan KK yang berlaku di sektor migas. Di sektor migas jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh BUMN, dalam kasus tersebut dikelola Pertamina,” katanya.
Baca juga: Inalum: Divestasi Freeport Tidak Sama dengan Membeli Tanah Sendiri
Dalam peralihan tersebut, lanjut Adian, pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah. Ini terjadi setelah sebelumnya pemerintah membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai puluhan triliun rupiah.
Sementara itu, dalam kasus Freeport, Adian mengatakan, berdasarkan ketentuan KK Indonesia tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis.
Bahkan sekalipun Indonesia diasumsikan menang dalam pengadilan internasional,. Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI. Berdasarkan laporan keuangan audited 2017, estimasi nilai PTFI sekitar Rp 85,7 triliun.
Selain itu, kata Adian, pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan, yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun.