KOMPAS.com - Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) akan meningkatkan kepemilikannya di PT Freeport Indonesia (PTFI) dari 9,36 persen menjadi 51,2 persen dengan membayar 3,85 miliar dollar atau senilai Rp 55 triliun.
Namun ada asumsi jika seharusnya Indonesia bisa memilikinya secara gratis setelah Kontrak Karya (KK) perusahaan berakhir di 2021. Benarkah demikian?
Berdasarkan materi rapat dengar pendapatan antara komisi VII DPR RI, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (17/10/2018) dijelaskan, KK PTFI tidak sama dengan apa yang berlaku di sektor minyak dan gas, yang jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina.
Dalam peralihan tersebut, pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Itu karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, setelah sebelumnya membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai puluhan triliun rupiah.
KK yang ditandatangani pada 31 Desember 1991 seharusnya memang berakhir pada 2021. Namun, dalam hal ini terdapat perbedaan antara pemerintah dan raksasa tambang Amerika Freeport McMoRan (FCX), pemilik mayoritas PTFI, dalam menafsirkan substansi KK.
FCX menafsirkan, mereka berhak mendapatkan perpanjangan KK hingga 2041 dan pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar".
Berdasarkan pengertian dari FCX, jika pemerintah tidak memperpanjang kontrak sampai Tahun 2041, maka akan menjadi landasan dasar bagi FCX untuk membawa masalah tersebut ke arbitrase internasional. Peluang pemerintah untuk memenangkan arbitrase tidak terjamin.
Jika kalah, pemerintah tak hanya diwajibkan membayar ganti rugi senilai miliaran dolar AS ke FCX, tapi juga seluruh aset pemerintah di luar negeri dapat disita jika pemerintah tidak membayar ganti rugi tersebut.
Sekalipun menang, pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku berdasarkan laporan keuangan audited 2017, yang diestimasi sekitar 6 miliar dollar AS. Selain itu, proses panjang arbitrase akan berdampak pada ketidakpastian operasi serta membahayakan kelangsungan tambang deposit emas terbesar di dunia tersebut.
"Jika diasumsikan Indonesia menang dalam arbitrase sekalipun, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia sesungguhnya juga tidak akan memperoleh tambang emas di Papua tersebut secara gratis," kata Direktur Reforminer Komaidi Notonegoro dalam sebuah diskusi di televisi Swasta pertengahan tahun ini, seperti di keterangan tertulis yang Kompas.com terima, Rabu (13/11/2018).
Lebih lanjut, Komaidi mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tetap harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited yang diestimasi sekitar 6 miliar dollar AS.
Tak cuma itu, kata dia, pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya lebih dari Rp 2 triliun. Dengan membayar Rp 55 triliun, Inalum akan mendapatkan keuntungan yang berlipat.
Berdasarkan keterangan dari Inalum, dalam dengar pendapat dengan Komisi 7 DPR baru-baru ini, perusahaan tersebut akan mendapatkan kekayaan tambang yang terdiri dari emas, perunggu dan perak senilai lebih dari Rp 2,175 triliun.
Diperkirakan setelah tahun 2022, Holding Industri Pertambangan tersebut juga akan mendapatkan Iaba bersih dari kekayaan tambang PTFI yang mencapai Rp 58 triliun per tahunnya.