KOMPAS.com – PT Freeport Indonesia (PTFI) meresmikan tiga rumah kompos (compost house) di desa-desa Ring 1 kawasan Smelter Manyar, yakni Manyar Sidorukun, Manyarejo, dan Manyar Sidomukti pada 9 Juni 2025.
Inisiatif ini merupakan bagian dari program “Waste for Waste” yang menjadi wujud tanggung jawab lingkungan perusahaan sekaligus bentuk nyata hilirisasi yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.
Program tersebut memanfaatkan limbah organik dari operasional smelter dan lingkungan sekitar untuk diolah menjadi pupuk kompos. Menariknya, pupuk tersebut dikelola dan dipasarkan oleh kelompok masyarakat desa, sehingga menjadi sumber pendapatan alternatif bagi warga.
Berdasarkan Laporan Akhir Membangun Kemitraan antara Masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Perusahaan untuk Optimalisasi Manfaat Hilirisasi yang diterbitkan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) pada 2024, program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam hilirisasi industri tambang, khususnya tembaga, bauksit, dan pasir silika, ke depan harus diarahkan pada perbaikan kualitas lingkungan serta peningkatan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat lokal.
Peneliti utama laporan tersebut, Hendi Subandi, menyampaikan bahwa dampak hilirisasi industri tambang terhadap lingkungan dapat dilihat dari indikator kualitas dan pencemaran air (Indeks Kualitas Air dan kandungan biological oxygen demand/BOD), kualitas dan pencemaran udara (Indeks Kualitas Udara dan Densitas karbon monoksida/CO), serta program CSR perusahaan.
Baca juga: Izinkan RDF Rorotan Beroperasi Lagi, Warga Minta Ada Program CSR
“Kegiatan CSR yang dilakukan perusahaan berdampak positif terhadap kondisi ekonomi, sosial, dan lingkungan di sekitar lokasi perusahaan beroperasi,” ujarnya dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Rabu (23/7/2025).
Pembangunan Compost House oleh PTFI juga sejalan dengan kajian The Reform Initiatives (TRI) berjudul Membangun Harmoni yang Produktif antara Pekerja Asing-Domestik dan Masyarakat Lokal: Tantangan, Kesempatan, dan Kebijakan Investasi Hilirisasi di Indonesia.
Ketua Tim Peneliti TRI Indonesia, Unggul Heriqbaldi, menyebutkan perlunya dukungan pemerintah pusat untuk meningkatkan ruang fiskal pemerintah daerah.
“Transformasi transfer fiskal harus dilakukan dengan indikator-indikator baru, bukan hanya berpatokan pada investasi dan produk domestik bruto (PDB). Indikator sosial dan lingkungan juga harus menjadi acuan,” jelasnya.
Unggul juga merekomendasikan agar prinsip environment, social, and governance (ESG) dijadikan parameter penilaian kinerja investasi hilirisasi.
Baca juga: Likuiditas Perbankan Ketat, Hilirisasi Dinilai Jadi Solusi
“Tidak cukup hanya melihat jumlah dan nilai investasi. Dampak sosial dan keberlanjutan lingkungan juga harus dinilai,” tegasnya.