KOMPAS.com – Keberhasilan pemerintah menjadi pemilik mayoritas saham PT Freeport Indonesia (PTFI) lewat PT Inalum (Persero) memicu perdebatan baru.
Uang sebesar 3.85 miliar dollar AS atau Rp 55 triliun yang dikeluarkan pemerintah demi memiliki saham 51 persen PTFI dianggap sebagai tindakan yang sia-sia karena membeli tanah sendiri.
Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum, Rendi A Witular, buka suara terkait kabar yang beredar tersebut.
“Kami menyayangkan adanya beberapa pengamat yang tidak membaca data dan Kontrak Karya (KK) PTFI sebelumnya tetapi berani membuat analisa yang menyesatkan publik seolah-olah kami membeli tanah air sendiri,” ujar Rendi A Witular sesuai dengan informasi yang Kompas.com terima, Minggu (23/12/2018).
Untuk diketahui, Inalum pada Jumat (21/12/2018) meningkatkan kepemilikannya di PTFI dari 9,36 persen menjadi 51 persen sekaligus berhak menjadi pengendali perusahaan pengelola kekayaan emas, perunggu, dan perak di Papua tersebut sebesar Rp 2.400 triliun hingga 2041.
Memahami kontrak karya pemerintah dengan PTFI
PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada 1967 (Era Soeharto) lalu diperbarui pada 1991 dengan masa operasi hingga 2021.
Terkait dengan masa operasi tersebut, Perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX), pengendali PTFI, dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan.
Dalam pengertian FCX, benar KK akan berakhir pada 2021, namun mereka memiliki hak untuk mengajukan perpanjangan 20 tahun lagi yang artinya PTFI akan bertahan hingga 2041.
Ruang gerak pemerintah untuk menahan atau menunda perpanjangan PTFI hingga 2041 juga dipersempit. Namun jika bersikeras, pemerintah bisa menyelesaikan persoalan lewat pengadilan internasional (arbitrase).
Hitung-hitungan jika seandainya mengambil jalur arbitrase
Mengambil jalur arbitrase rupanya tak luput dari masalah meski pemerintah menang dalam pengadilan. Mengingat operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan, dampaknya justru akan sangat luas.
Seperti contoh, mengingat tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia, ini akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi.
Dampak kedua adalah ekonomi Mimika akan terganggu karena sekitar 90 persen masyarakat sangat bergantung dari kegiatan PTFI. Itu pun jika pemerintah Indonesia menang, lalu bagaimana seandainya kalah dalam pengadilan arbitrase? Dampaknya bisa jauh lebih pelik lagi.
Pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi mengingat sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun. Suramnya lagi, di KK tersebut pun tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis.
Terkait KK, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan wajar saja jika PTFI mengancam akan membawa ke arbitrase jika dipaksa mendivestasikan saham 51 persen kepada Indonesia, mengingat sistem KK yang sifatnya sah di mata hukum.
“Meski bisa dihadapi tetapi tetap tidak ada jaminan menang bagi Indonesia jika ke arbitrase,” tutur Mahfud.