KOMPAS.com - Hilirisasi adalah langkah maju yang berani, tetapi kesuksesannya bergantung pada aksi nyata di lapangan. Dengan mengadopsi praktik bisnis berkelanjutan, perusahaan tidak hanya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, tapi juga menjadi bagian dari solusi atas tantangan global.
Dalam era ekonomi global yang mengarah kepada keberlanjutan, aspek environmental, social, and governance (ESG) bukan hanya tanggung jawab moral perusahaan terhadap aspek keberlanjutan, melainkan juga kunci daya tarik investasi.
Hal itu pun diamini PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ( PLN) dalam merespons ambisi pemerintah melakukan hilirisasi sembari mendorong penerapan ESG.
Direktur Distribusi PLN Adi Priyanto menuturkan, dalam menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019- 2028, perusahaan tidak memperkirakan pemerintah akan mengimplementasi program hilirisasi secara cepat dan masif.
”Kami merencanakan seperti biasa. Tidak memperkirakan di Sulawesi tiba-tiba muncul smelter yang begitu besar," ungkapnya.
Baca juga: PLN Gandeng Sembcorp-TGI Garap Proyek Hidrogen Hijau Terbesar di ASEAN
Dia mengatakan itu dalam diskusi terbatas CEO Connect dengan tema ”Indonesia Emas 2045: Optimalisasi Hilirisasi dan Kolaborasi Industri dalam Meningkatkan
Penerapan ESG di Indonesia” yang digelar harian Kompas dan PLN di Jakarta, Rabu (13/11/2024).
"Orientasi kami justru daerah lain yang tidak matching dengan kebijakan hilirisasi pemerintah,” ujarnya dalam siaran pers.
Akhirnya, beberapa tahun berselang, PLN bermanuver pada RUPTL 2021-2030, dengan mencanangkan pembangunan pembangkit sejalan dengan program hilirisasi pemerintah.
RUPTL itu pun disebut yang paling ”hijau” di sepanjang sejarah PLN karena porsi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) mencapai 51,6 persen.
Dalam RUPTL terbaru, PLN membatalkan pembangunan 13,3 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru yang sebelumnya direncanakan dalam RUPTL 2019- 2028.
Baca juga: PLN Gandeng Sembcorp-TGI Garap Proyek Hidrogen Hijau Terbesar di ASEAN
Tak hanya itu, PLN juga menambah jumlah PLTU yang mengadopsi teknologi co-firing biomassa secara bertahap menjadi 44 PLTU saat ini dan akan mencapai 52 PLTU pada 2025.
Hal tersebut dikonfirmasi Chairperson of ESG Task Force Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Maria Rosaline Nindita Radyati.
Dia mengatakan, ambisi pemerintah menjadikan hilirisasi sebagai fondasi baru ekonomi nasional mesti disertai kesadaran korporasi untuk menjalani prinsip keberlanjutan.
Sebab, upaya perusahaan mengintegrasikan bisnis utama dengan prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola, atau ESG penting bagi keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.
Maria menekankan bahwa berdasarkan prinsip ESG, risiko keberlanjutan yang dihadapi industri dalam menjalankan program hilirisasi tidak hanya datang dari aspek lingkungan dan tata kelola, tetapi juga aspek sosial.
Ia menyoroti pentingnya perusahaan menghormati hak asasi manusia (HAM), memastikan kesejahteraan karyawan, dan berkontribusi terhadap masyarakat.
Baca juga: Dukung Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, PLN Fokus Tingkatkan Infrastruktur Energi Hijau
”Dalam melakukan hilirisasi, perusahaan harus mempersiapkan aspek sosial seoptimal mungkin. Bukan hanya terhadap karyawan, konsumen, atau supplier, melainkan juga dari calon mitra bisnis, serta komunitas masyarakat yang terdampak jalannya bisnis,” ujarnya.
Maria mengatakan, dalam rezim ekonomi global saat ini, ESG bukan sekadar tanggung jawab moral perusahaan terhadap aspek keberlanjutan, tetapi juga kunci daya tarik investasi.
Sebab, rating ESG yang rendah dapat menghambat minat investor berinvestasi sehingga dapat mengganggu jalannya program hilirisasi.
Narasumber lainnya, Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi Riyatno Riyatno menyebutkan, saat ini telah terjadi peningkatan permintaan dari investor untuk proyek-proyek yang bertanggung jawab terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola secara berkelanjutan.
Kondisi tersebut membuat upaya pemerintah dalam menarik investasi berbentuk penanaman modal asing (PMA) guna mendukung hilirisasi industri tak bisa lagi menggunakan strategi konvensional dengan mempromosikan potensi sumber daya alam Indonesia kepada calon investor.
Baca juga: Di COP29, PLN Paparkan Strategi Dorong Pertumbuhan Ekonomi dan Manfaatkan EBT
”Untuk menarik investasi (PMA), pemerintah menyiapkan proyek investasi berkelanjutan yang siap ditawarkan, mencakup sektor-sektor prioritas dan dilengkapi dengan prastudi kelayakan.” ujarnya.
Pada 2024, sedikitnya terdapat 81 proyek investasi berkelanjutan yang telah diidentifikasi dengan total nilai investasi mencapai Rp 244 triliun.
Riyanto mengatakan, proyek-proyek itu dirancang untuk mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Ke-81 proyek tersebut terdiri dari 14 proyek di sektor agroindustri dengan nilai investasi Rp 9,48 triliun, 39 proyek di sektor industri dengan nilai Rp 172,42 triliun, serta 4 proyek zona ekonomi dan real estat dengan nilai Rp 3,31 triliun.
Selain itu, 9 proyek infrastruktur dengan nilai Rp 51,41 triliun, 2 proyek energi terbarukan dengan nilai Rp 863 miliar, serta 13 proyek pariwisata dengan nilai investasi Rp 7,06 triliun.
”Jadi, pemerintah tak hanya mengoptimalkan dan memperluas kerja sama antarnegara dan antarlembaga untuk meningkatkan investasi, tetapi memastikan dampak keberlanjutan dari tiap proyek yang mendapat suntikan investasi,” jelasnya.
Baca juga: Dukung Transisi Energi Berkelanjutan di Indonesia, PLN Fokus pada Pendanaan Hijau
Di luar itu, untuk mendorong investasi berkelanjutan, Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) telah meluncurkan panduan investasi lestari (sustainable investment guidelines/ SIG) pada 2022.
Panduan itu berisi 25 indikator untuk mengukur tingkat keberlanjutan suatu proyek, serta rekomendasi apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas keberlanjutan suatu proyek.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Setia Diarta.
Setia menyampaikan, upaya industri dalam melakukan hilirisasi dengan upaya industri mengimplementasikan ESG merupakan dua hal yang tak terpisahkan.
Oleh karena itu, terdapat belasan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) yang dikeluarkan untuk mendukung implementasi prinsip-prinsip keberlanjutan industri.
”Dalam hilirisasi, kami tidak hanya mendorong tumbuhnya industri antara (intermediate) hingga industri hilir dalam pemenuhan pohon industri, tetapi juga memastikan industri intermediate mengimplementasikan prinsip-prinsip keberlanjutan,” ujarnya.
Pada forum yang sama, Wakil Direktur PT Freeport Indonesia Jenpino Ngabdi menambahkan, ketersediaan bahan setengah jadi yang diproduksi industri dapat mengundang kemunculan dan pertumbuhan industri-industri turunan lainnya di Indonesia.
Kondisi itu secara organik akan melengkapi pohon industri di dalam negeri, dari sisi hulu hingga hilir.
”Contohnya, saat ini di seberang pabrik smelter katoda tembaga Freeport di Gresik (Jawa Timur), sudah dibangun pabrik dari China produsen copper foil untuk baterai mobil listrik. Hal positif dari hilirisasi mulai terlihat,” ujarnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, hanya 40 persen hasil produksi pabrik pemurnian tembaga milik Freeport di bawah bendera PT Smelting, yang terserap di pasar domestik.
Dengan masifnya pertumbuhan industri intermediate, dia memperkirakan produk katoda tembaga perusahaannya bisa terserap seluruhnya di dalam negeri pada 2035.
Adapun pembicara lain dalam forum itu, yakni Direktur Strategi dan Pengembangan Teknologi Injourney Airports Ferry Kusnowo, serta Dekan Fakultas Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung Ridho Kresna Wattimena.
Baca juga: Perkuat Ekosistem, PLN Resmikan One Stop EV Charging di Bandung
Sebagai informasi, CEO Conncet adalah bagian dari Kompas100 CEO Forum yang dipandu oleh Harian Kompas dan didukung oleh PLN, East Ventures, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, Sykstar, dan PT Angkasa Pura.