KOMPAS.com – Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan (EBT) PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, Suroso Isnandar menyoroti pentingnya pembangunan yang adaptif terhadap kebutuhan energi masa depan.
“PT PLN saat ini bukan hanya penyedia listrik, tetapi motor penggerak ekosistem energi hijau nasional,” ucapnya dalam keterangan resmi, Jumat (17/10/2025).
Hal tersebut disampaikan Suroso dalam acara CEO Connect di Bentara Budaya Art Gallery Jakarta, Kamis (16/10/2025).
Forum yang menjadi ajang pertukaran gagasan lintas sektor antara pemerintah, pelaku usaha, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya ini merupakan bagian dari rangkaian acara 16th Kompas100 CEO Forum 2025 powered by PLN.
Baca juga: RI Butuh Dana Rp 3.000 T untuk Bangun EBT, PLN Dorong Investasi Swasta
Suroso menyampaikan bahwa PLN telah menyiapkan peta jalan transformasi energi untuk memperkuat bauran EBT secara bertahap dalam beberapa tahun mendatang.
Langkah tersebut diwujudkan melalui pembangunan smart grid, pengembangan pembangkit tenaga surya di kawasan industri, serta sistem penyimpanan energi berbasis baterai yang dapat memperluas jangkauan pasokan hijau.
Menurut Suroso, keberhasilan transisi energi akan sangat bergantung pada kemitraan lintas sektor.
“Kita butuh ecosystem thinking, yakni kolaborasi antara pemerintah sebagai regulator, PLN sebagai integrator, dan swasta sebagai inovator. Kalau semua bergerak dengan arah yang sama, kita tidak hanya mencapai ketahanan energi, tapi juga membuka babak baru kemandirian ekonomi,” ungkapnya.
Baca juga: Tantangan Peremajaan Kilang, Saat Ketahanan Energi Jadi Taruhan
Suroso menambahkan, investasi di sektor EBT harus dipandang sebagai peluang jangka panjang, bukan beban.
Ia percaya bahwa EBT memiliki efek ganda, antara lain menumbuhkan industri baru, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
“Ketika kita membangun pembangkit surya di pelosok, itu bukan sekadar proyek energi. Itu pembangunan ekonomi lokal,” tegas Suroso.
Mengusung tema “Menata Arah Indonesia: Derap Langkah Membangun Kemandirian Ekonomi melalui Optimalisasi Energi Baru Terbarukan (EBT)”, CEO Connect menghadirkan ruang dialog untuk menyatukan gagasan dalam mewujudkan kemandirian energi nasional.
Baca juga: CEO Connect Digelar, Pertemukan Pemerintah-Swasta untuk Wujudkan Kemandirian Energi
Secara garis besar, forum diskusi ini membedah arah kebijakan dan strategi lintas sektor untuk memperkuat ketahanan energi Indonesia di tengah dinamika global.
Selain menghadirkan pembicara dari PT PLN (Persero), diskusi yang dipandu oleh wartawan Harian Kompas Aris Prasetyo ini juga menghadirkan pembicara dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Standard Chartered Indonesia, Boston Consulting Group, dan PT Pertamina (Persero)
Pada kesempatan itu, Direktur Konservasi Energi Direktorat Jenderal (Dirjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Hendra Iswahyudi menegaskan bahwa transisi menuju energi bersih merupakan bagian dari upaya memperkuat kedaulatan nasional di bidang energi.
“Energi bukan semata urusan pasokan, melainkan instrumen kedaulatan. Ketika kita mampu menguasai sumber daya, teknologi, dan kebijakannya, di situlah Indonesia benar-benar mandiri,” ujarnya.
Baca juga: Antara Karbon dan Kedaulatan: Menakar Arah Transisi Energi Indonesia
Hendra mengungkapkan bahwa pemerintah tengah mempercepat kebijakan menuju swasembada energi dengan menyiapkan serangkaian instrumen fiskal dan nonfiskal.
Beberapa kebijakan yang dijalankan adalah renewable energy fund, penyederhanaan izin proyek EBT, serta kolaborasi riset dengan lembaga teknologi dalam negeri.
Hendra menambahkan, penguatan infrastruktur dan riset menjadi dua fondasi utama agar transisi ini berjalan efektif.
“Tanpa riset, kita akan terus menjadi pengguna, bukan pencipta teknologi. Karena itu, Kementerian ESDM kini mendorong kolaborasi dengan universitas dan lembaga litbang nasional untuk menciptakan inovasi berbasis kebutuhan Indonesia,” jelasnya.
Baca juga: Kementerian ESDM: Sektor Panas Bumi Serap 1.533 Tenaga Kerja Hijau
Dari perspektif lembaga keuangan internasional, CEO Standard Chartered Indonesia, Donny Donosepoetro OBE mengatakan bahwa keberhasilan Indonesia dalam menjalankan transisi energi bergantung pada konsistensi kebijakan dan kemampuan negara dalam menarik arus investasi jangka panjang.
“Sebenarnya, Indonesia memiliki potensi luar biasa di kacamata investor global, mulai dari sumber daya yang melimpah, pasar domestik yang besar, serta komitmen yang kuat untuk transisi hijau,” katanya.
Namun, Donny menilai, konsistensi kebijakan menjadi faktor paling krusial untuk mendapatkan kepercayaan dan arus investasi jangka panjang.
Menurutnya, investasi hijau bukan semata soal ketersediaan dana, tetapi juga kepastian bahwa proyek yang didanai akan memberikan dampak berkelanjutan.
Baca juga: Investasi Hijau Berpotensi Buka 7-10 Kali Lebih Banyak Lapangan Kerja
Donny menekankan, investor global saat ini juga menilai besarnya manfaat sosial, peningkatan kompetensi lokal, dan tata kelola yang kredibel.
Di sinilah peran Standard Chartered Indonesia dibutuhkan sebagai jembatan antara kebutuhan pembiayaan domestik dan ekspektasi global terhadap proyek energi bersih.
Pasalnya, Standard Chartered Indonesia telah aktif mengembangkan sejumlah instrumen, seperti green bond dan sustainability-linked financing untuk membantu proyek EBT mendapatkan pendanaan dengan biaya yang kompetitif.
Selain pembiayaan, dukungan juga diberikan melalui pendampingan teknis dan konsultasi strategis agar proyek energi Indonesia siap memenuhi standar internasional.
Donny menegaskan, Standard Chartered Indonesia ingin memastikan bahwa proyek yang lahir di Indonesia bukan hanya hijau di atas kertas, tetapi juga kuat dalam tata kelola dan berkontribusi pada ketahanan energi nasional.
Baca juga: Tantangan Peremajaan Kilang, Saat Ketahanan Energi Jadi Taruhan
CEO Standard Chartered Indonesia Donny Donosepoetro OBE dan Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis PT Pertamina (Persero) Agung Wicaksono dalam acara CEO Connect 2025.Masih pada diskusi yang sama, Managing Director & Senior Partner Boston Consulting Group, Lenita Tobing menekankan bahwa sektor swasta memiliki peran penting dalam mengubah transisi energi menjadi motor pertumbuhan ekonomi baru.
Menurutnya, saat ini Indonesia berada di momentum yang sangat strategis. Berkat potensi sumber daya yang melimpah, seperti energi surya, panas bumi, serta rantai pasok baterai kendaraan listrik, sektor swasta memiliki ruang untuk aktif mempercepat kemandirian energi nasional.
Lenita juga menyebutkan bahwa keberhasilan transisi energi tidak hanya ditentukan oleh besarnya investasi, tetapi oleh model bisnis yang inklusif dan berbasis kolaborasi.
“Di banyak negara, percepatan EBT terjadi ketika pemerintah membuka ruang bagi kemitraan publik-swasta, memperkuat riset lokal, dan membangun rantai pasok yang otonom. Jika semua itu dilakukan secara simultan, Indonesia bisa menghindari ketergantungan terhadap impor teknologi,” jelasnya.
Baca juga: RI Butuh Dana Rp 3.000 T untuk Bangun EBT, PLN Dorong Investasi Swasta
Berdasarkan studi dan pengalaman global, Lenita menilai ada sejumlah langkah efektif yang dapat diimplementasikan di Indonesia untuk mempercepat pertumbuhan energi bersih.
Misalnya, memperluas proyek rooftop solar di kawasan industri, mendorong integrasi digital dalam sistem energi, serta memperkuat insentif bagi investor yang menanam modal pada riset dan manufaktur komponen lokal.
“Kalau dirancang dengan strategi yang tepat, industri energi bersih akan menjadi roda penggerak ekonomi baru Indonesia yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga menciptakan nilai tambah dan kemandirian bagi bangsa,” ucap Lenita.
Direktur Transformasi dan Keberlanjutan Bisnis PT Pertamina (Persero), Agung Wicaksono sepakat bahwa transformasi menuju energi bersih merupakan perjalanan strategis yang menuntut keseimbangan antara kebutuhan energi hari ini dan investasi masa depan.
Baca juga: Energi Bersih: Mimpi Besar atau Janji Kosong Indonesia?
Menurutnya, tantangan terbesar bagi negara berkembang seperti Indonesia adalah memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat, sembari menurunkan emisi dan memperkuat daya saing industri nasional.
Oleh karena itu, Pertamina memosisikan diri sebagai penggerak transisi dengan tetap menjaga pasokan energi konvensional agar ekonomi tetap berjalan, sambil menyiapkan portofolio baru berbasis energi terbarukan.
Lebih lanjut, Agung menekankan bahwa keberhasilan transisi tidak hanya diukur dari pengurangan emisi, tetapi juga dari kemampuan bangsa menguasai teknologi dan menciptakan lapangan kerja baru.
“Transformasi ini harus menjadi jalan menuju kedaulatan energi dan kemandirian teknologi. Indonesia tidak boleh hanya menjadi pengguna. Kita harus menjadi bagian dari pencipta solusi,” tegasnya.
Baca juga: Energi Panas Bumi Dinilai Lebih Aman dan Tak Merusak, Mampu Dorong Kedaulatan Energi
Agung menutup diskusi dengan refleksi yang menegaskan arah jangka panjang Pertamina.
Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang energi, ia menilai Pertamina mengemban mandat strategis untuk menjaga ketahanan energi hari ini dengan tetap memastikan keberlanjutan energi untuk generasi mendatang.
Artinya, transisi energi yang dijalankan Pertamina bukan semata soal efisiensi, tetapi tentang masa depan bangsa.
Sebagai awal dari rangkaian 16th Kompas100 CEO Forum 2025 powered by PLN, forum ini menegaskan bahwa transisi energi merupakan fondasi bagi transformasi ekonomi nasional, bukan sekadar perubahan sumber daya.
Baca juga: Transisi Energi Bersih, SPBU dan BBM “Hijau” Pertamina Kian Meluas
Melalui dialog konstruktif antara pemerintah, pelaku industri, lembaga keuangan, dan akademisi, energi bersih dipandang sebagai kunci untuk memperkuat daya saing, membuka peluang investasi, serta menyiapkan masa depan yang tangguh, hijau, dan berdaulat bagi Indonesia.
Informasi lebih lanjut seputar 16th Kompas100 CEO Forum 2025 powered by PLN dapat diakses melalui laman kompas100.kompas.id, akun media sosial @kompas100ceoforum, dan tagar #Kompas100CEOForum.