KOMPAS.com - PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ( PLN) memegang peran krusial dalam mewujudkan target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang diharapkan pemerintah.
Salah satu upaya PLN dalam mendukung pencapaian tersebut adalah dengan mengembangkan infrastruktur energi hijau. Langkah ini tidak hanya berkontribusi pada upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tetapi juga meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.
Executive Vice President Pengembangan Produk Niaga PLN Ririn Rachmawardini menekankan pentingnya sektor kelistrikan dalam mendukung perekonomian nasional.
“Salah satu contoh konkret adalah pesatnya perkembangan industri kendaraan listrik di Indonesia. Dengan adanya pabrik-pabrik mobil listrik yang kini dibangun, tidak hanya menyerap tenaga kerja lokal, tetapi juga mendorong berkembangnya industri-industri pendukungnya,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (14/11/2024).
Baca juga: Di COP29, PLN Paparkan Strategi Dorong Pertumbuhan Ekonomi dan Manfaatkan EBT
Pernyataan tersebut disampaikan Ririn dalam diskusi terbatas ”CEO Connect: Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Kolaborasi Strategis dalam Pembangunan Infrastruktur Hijau, Digitalisasi, dan Pengembangan SDM” yang digelar Harian Kompas dan PLN di Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Ia menjelaskan bahwa PLN juga menerbitkan Renewable Energy Certificate (REC), sebuah sertifikat yang diberikan kepada pelanggan yang menggunakan listrik yang bersumber dari energi terbarukan.
“Perusahaan yang memiliki sertifikat REC akan mendapatkan pengakuan global. Untuk memasuki pasar internasional, perusahaan harus memenuhi beberapa persyaratan, dan salah satunya adalah penggunaan energi hijau,” imbuh Ririn.
Untuk diketahui, dalam acara tersebut juga menghadirkan pembicara lain, di antaranya ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Dradjad Wibowo, partner East Ventures, Melisa Irene, dan partner Skystar Capital Edward Gunawan.
Sebelumnya, ekonom senior Indef, Dradjad Wibowo, menekankan bahwa untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen, diperlukan stimulus Keynesian, yaitu kebijakan stimulus dan belanja pemerintah. Hal ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat dan menggerakkan permintaan.
Selain itu, Dradjad juga menekankan bahwa yang lebih krusial adalah pemangkasan birokrasi dan deregulasi untuk menciptakan ruang bagi sektor swasta untuk berkembang.
"Jika kita hanya mengandalkan negara, kita tidak akan bisa mencapai target tersebut karena kapasitas pemerintah terbatas. Pemerintah harus sedikit hands off dan memberi ruang lebih besar untuk sektor swasta," ujarnya.
Baca juga: Dukung Transisi Energi Berkelanjutan di Indonesia, PLN Fokus pada Pendanaan Hijau
Meskipun sudah ada berbagai upaya dalam 10 tahun terakhir untuk menyederhanakan birokrasi, Dradjad menilai bahwa masalah birokrasi yang rumit masih menjadi hambatan besar.
Ia mengungkapkan bahwa masalah tersebut sempat dikeluhkan oleh Presiden ke-7 Republik Indonesia (RI) Joko Widodo (Jokowi) menjelang akhir masa jabatannya pada Oktober 2024.
Menurut Dradjad, untuk memperbaiki keadaan, reformasi birokrasi harus disertai dengan pembangunan dan penguatan sistem yang melibatkan pihak-pihak kredibel yang dapat menerapkannya dengan baik.
Sebagai langkah konkret, Dradjad mengusulkan agar setiap kementerian dan lembaga (K/L) diberi key performance indicator (KPI) yang mengukur kemudahan berusaha (ease of doing business).
Baca juga: Heri Koswara Soroti Jual Beli Jabatan di Pemkot Bekasi dan Janjikan Reformasi Birokrasi
Para pelaku usaha yang mengajukan izin bisa memberi penilaian secara anonim terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Dengan begitu, dapat terlihat dengan jelas K/L mana saja yang sudah melaksanakan kebijakan deregulasi dengan baik, dan yang masih perlu diperbaiki.
Meski demikian, Dradjad juga mengingatkan bahwa mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen bukanlah tugas yang mudah.
Dalam simulasi yang diakukan, ia memaparkan bahwa untuk sampai ke angka tersebut, ada tahapan pertumbuhan yang harus dilalui.
Pada 2025, ekonomi harus tumbuh sebesar 5,89 persen, diikuti oleh 6,45 persen pada 2026, 7,11 persen pada 2027, dan 7,90 persen pada 2028. Barulah pada 2029, pertumbuhan ekonomi diharapkan mencapai 8,85 persen.
Sementara itu, partner East Ventures Melisa Irene menekankan pentingnya menciptakan narasi positif tentang potensi Indonesia dan menggambarkan negara ini sebagai tempat yang ideal untuk berinvestasi.
Ia mengungkapkan bahwa investor akan selalu memilih lokasi yang dapat memberikan return yang baik, dan Indonesia harus mampu bersaing dengan negara lain yang juga mengincar investasi.
East Ventures, kata Melisa, berkomitmen untuk mendukung pertumbuhan Indonesia dengan berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang mengangkat potensi lokal.
"Perusahaan-perusahaan ini akan menonjolkan apa yang bisa dilakukan secara lokal. Ketika kita memiliki perusahaan-perusahaan yang sukses, itu akan menjadi cerita bahwa Indonesia sedang mengalami pertumbuhan yang sehat, ditambah dengan bonus demografi," ujarnya.
Di sisi lain, partner Skystar Capital Edward Gunawan mengungkapkan bahwa kapasitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia sejatinya tak kalah dengan negara-negara maju lainnya.
Akan tetapi, sebut di, diperlukan dorongan untuk mengolaborasikan individu-individu potensial agar dapat bertukar ide dan mengembangkan inovasi.
Baca juga: PLN Siap Dukung Transisi Energi Indonesia melalui Pembangkit EBT di COP 29
Selain itu, Edward juga menekankan pentingnya pengembangan riset untuk mendorong inovasi.
"Indonesia masih tertinggal dalam hal ini. Saat ini, per satu juta orang di Indonesia hanya ada 400 peneliti, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) yang memiliki 4.400 peneliti per satu juta orang, atau China dengan 1.700 peneliti per satu juta orang," ujarnya.
Sebagai informasi, CEO Connect adalah bagian dari Kompas100 CEO Forum Powered by PLN dipandu oleh Harian Kompas dan didukung oleh PLN, East Ventures, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, Skystar Capital, dan PT Angkasa Pura.