KOMPAS.com - Direktur Utama (Dirut) PT Perusahaan Listrik Negara ( PLN) (Persero) Darmawan Prasodjo berdiskusi dengan International Energy Agency (IEA) mengenai langkah strategis proyek transisi energi di Indonesia.
Diskusi itu dilakukan secara intensif melalui focus group discussion (FGD) di IEA Headquarters, 9 Rue de la Fédération, 75015 Paris, Prancis, Selasa (18/4/2023).
Sebelumnya, PLN dan IEA telah sepakat menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk mematangkan skema Just Energy Transition Partnership Investment and Policy Plan ( JETP IPP).
Pada kesempatan itu, Darmawan menjelaskan berbagai upaya dalam mempercepat pencapaian Net Zero Emission (NZE) 2060.
Beberapa upaya tersebut, di antaranya, mengurangi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sebelumnya telah direncanakan dalam RUPTL 2019-2028 sebesar 13,3 gigawatt (GW).
Baca juga: Bangun Pembangkit Hidrogen, PLN Kolaborasi dengan Perusahaan Perancis
"PLN juga membuat rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) hijau dengan komposisi penambahan pembangkit berbasis energi baru terbarukan menjadi mayoritas (51,6 persen) dalam bauran energi," jelas Darmawan.
Darmawan menilai, sejumlah langkah tersebut dilakukan PLN untuk mengurangi emisi karbon di sektor pembangkitan.
"PLN telah mengambil tindakan konkret untuk mendukung pencapaian JETP dengan menyelaraskan penyusunan RUPTL saat ini dengan JETP. Oleh karena itu, PLN siap untuk berkolaborasi dengan investasi dan rencana kebijakan JETP IPP," ujarnya.
Ia melanjutkan, untuk membantu upaya pengurangan emisi, PLN juga telah mengganti 1,1 GW PLTU dengan energi terbarukan dan 800 megawatt (MW) dengan gas alam.
Di samping itu, sambungnya, PLN juga melakukan teknologi co-firing pada 36 PLTU yang akan terus bertambah menjadi 52 PLTU serta melakukan dieselisasi PLTD sebanyak 1 GW.
Baca juga: Akselerasi Transisi Energi Indonesia, PLN Gandeng IEA Matangkan Skema JETP
"Kami juga sudah melakukan uji coba perdagangan karbon pertama di 26 pembangkit listrik PLN. Selain itu juga mengaktifkan konsumsi energi terbarukan melalui layanan energi hijau atau Renewable Energy Certificate (REC)," tambah Darmawan.
PLN dan IEA sepakat bahwa langkah Indonesia perlu mendapatkan dukungan dari semua pihak lewat skema kolaborasi investasi atau pendanaan. Keduanya juga berusaha mematangkan strategi pelaksanaan agenda besar ini lewat skema JETP IPP.
Lebih lanjut, PLN dan IEA sepakat bahwa proyek transisi energi tidak hanya sekadar masalah investasi saja, tetapi juga perlu mengedepankan prinsip keterjangkauan bagi masyarakat sehingga mereka tidak akan keberatan secara ekonomi.
Selain itu, transisi energi membutuhkan biaya yang besar, sehingga perlu dikaji dampaknya terhadap kondisi keuangan PLN maupun kemampuan keuangan negara.
Baca juga: Kembangkan Teknologi Hidrogen, PLN Gandeng Perusahaan Perancis
Darmawan menjelaskan, PLN akan meningkatkan pembangunan transmisi jaringan interkoneksi antarpulau serta green enabling transmission line, sehingga daya dari pembangkit EBT bisa disalurkan ke pusat beban.
Tak hanya itu, PLN juga mengembangkan konsep smart grid dalam pembangunan jaringan, sehingga keandalan listrik untuk masyarakat bisa ditingkatkan.
"Upaya kami ini mampu mengurangi emisi karbon hingga 3,7 miliar ton CO2 ke depan. Kami bersama IEA memetakan hingga rinci terkait strategi, kebutuhan infrastruktur pendukung, rencana pembangunan interkoneksi jaringan, hingga peluang kolaborasi yang menarik bagi investor," tambahnya.
Sementara itu, Head Renewable Energy Division International Energy Agency Paolo Frankl mendukung penuh langkah PLN dan Indonesia dalam menjalankan proyek transisi energi.
Frankl menilai, dukungan penuh negara-negara di dunia dan juga industri global mampu menjadi upaya bersama untuk masa depan bumi yang lebih baik.
Baca juga: PLN Siapkan 100 Unit SPKLU untuk Sukseskan KTT ASEAN di Labuan Bajo
"IEA mendukung penuh langkah PLN dan Indonesia dalam menjalankan proyek transisi energi. Bersama PLN kami akan memetakan langkah strategis untuk mencapai target NZE," ujar.