KOMPAS.com – Selain macet dan sampah, problematika lain Jakarta adalah pengelolaan air perpipaan.
Permasalahan yang masih timbul selama 25 tahun dalam pengelolaan air perpipaan mencakup pasokan air, kualitas air, dan penarifan atau tagihan. Sepanjang periode 2023 hingga awal September 2024, persoalan ini terwadahi dalam pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI).
Sebagian pengelolaan air perpipaan Jakarta dilakukan oleh PAM Jaya. Namun, air perpipaan yang disediakan oleh PAM Jaya hanya mencakup 64 persen dari total populasi atau sekitar dua juta pelanggan.
Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik yang juga merupakan Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan bahwa secara ideal, pasokan air bersih di Jakarta harus dipasok dari air perpipaan. Dengan begitu, tanah di Jakarta tidak semakin amblas akibat penggunaan air tanah berlebihan dari masyarakat.
“Jika warga terus menyedot air tanah dan tanpa dibarengi dengan ruang terbuka hijau yang memadai, risiko tanah amblas di Jakarta semakin tinggi. Kualitas air tanah Jakarta juga makin buruk oleh cemaran, misalnya cemaran bakteri E-coli, dan rembesan air laut,” jelas Tulus melalui keterangan tertulis kepada Kompas.com, Minggu (8/9/2024).
Baca juga: Atasi Permasalahan Stunting, Dharma Wanita PAM Jaya Raih Penghargaan dari Wali Kota Jakarta Pusat
Namun, untuk mendorong percepatan cakupan akses air bersih dari PAM Jaya juga tidak mudah. Sebab, PAM Jaya memerlukan investasi tinggi.
Apalagi, saat ini, lanjut Tulus, sebagian besar pipa PAM Jaya, yakni sepanjang lebih dari 19.000 km, masih warisan era Belanda sehingga perlu diremajakan.
“Tanpa peremajaan pipa, berimprovisasi dalam pelayanan menjadi muskil. Tingkat kebocoran pipa pun semakin tinggi,” tutur Tulus.
Tulus menilai, wacana penaikan tarif air PAM Jakarta dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Terlebih, sejak 2017, tarif air PAM Jakarta belum pernah ditinjau lebih lanjut. Padahal, biaya pokok penyediaan atau biaya produksi, seperti investasi, perawatan, tenaga kerja, dan inflasi, telah mengalami kenaikan.
Baca juga: Melebihi Target, Program Khitan Massal PAM Jaya Diikuti 521 Anak dari Wilayah Jakarta
Selain itu, jika dibandingkan tarif PDAM di Bodetabek, tarif PAM Jaya terbilang lebih rendah. Sebagai contoh, PAM Jaya mematok tarif sebesar Rp 1.050-Rp 7.450 per kubik untuk tarif golongan rumah tangga.
Sementara, PDAM Kota Depok mengenakan tarif Rp 4.200-Rp 13.000 per kubik, Kabupaten Bogor Rp 3.000-Rp 7.000, dan Kota Bekasi Rp 3.200-Rp 17.000.
“Disparitas tarif yang jomplang antar-area bisa menimbulkan efek negatif dari sisi distribusi, misalnya penyelundupan air bersih dari Kota Jakarta ke area penyangga Bodetabek,” kata Tulus.
Kendati masih berada di bawah kota satelit sekitarnya, Tulus mengimbau, penyesuaian tarif PAM Jaya harus memperhatikan hak-hak konsumen sebagai pengguna air.
“Air adalah kebutuhan dasar sehingga penetapan harga tak bisa (dilakukan) seenaknya,” ucapnya.
Kebijakan penarifan harus mematuhi dua aspek utama, yakni aspek daya beli (purchasing power) atau kemampuan membayar (ability to pay) dan aspek kemauan membayar (willingness to pay).
Oleh karena itu, manajemen PAM Jaya harus memiliki kajian mendalam terkait aspek daya beli dan kemauan membayar masyarakat, khususnya untuk konsumen dari golongan menengah bawah.
Dari sisi daya beli, Tulus juga meminta PAM Jaya untuk melihat potret pola konsumsi dari rumah tangga miskin. Sebab, terdapat kelompok masyarakat yang tidak termasuk kategori rumah tangga miskin karena pola konsumsi terhadap rokok yang sangat tinggi.
Baca juga: Gelar Jakarta Water Hero 2024, PAM Jaya Beri Apresiasi untuk Pahlawan Pelestari Air di Jakarta
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, masyarakat miskin kota rata-rata mengalokasikan pendapatan sebesar 11,3 persen untuk membeli rokok. Alokasi rokok mencapai Rp 15.000-Rp 20.000 per hari atau Rp 450.000-Rp 600.000 per bulan.
“Bandingkan berapa rupiah mereka mengalokasikan untuk membayar tagihan PAM,” kata Tulus.
Selain kedua aspek itu, manajemen PAM Jaya juga diminta untuk memiliki target yang lebih luas dan besar, khususnya terkait memperluas cakupan akses warga Jakarta. Hal ini dianggap mendesak guna mengantisipasi serta memitigasi penurunan air tanah Jakarta dan peningkatan muka air laut.
“PAM Jaya harus punya target yang terukur untuk mencapai cakupan 100 persen,” tegas dia.
Secara umum, Tulus menyoroti beberapa hal yang perlu menjadi komitmen PAM Jaya dalam upaya menyesuaikan tarif air perpipaan.
Pertama, komitmen untuk meningkatkan pelayanan pada penggunanya secara terukur, baik terkait pasokan maupun kualitas air. Kedua, komitmen untuk penanganan pengaduan konsumen yang cepat dan menggunakan beragam akses.
"Ketiga, komitmen untuk meningkatkan keandalan dan inovasi pelayanan, seperti memperbanyak reservoir komunal," jelas Tulus.
Keberadaan reservoir komunal dapat menjadi hal kunci untuk mengatasi kasus kehilangan air (non-revenue water) yang masih tinggi akibat kebocoran pipa.
Tulus menilai, jika PAM Jaya tak mampu memberikan jaminan peningkatan pelayanan, kenaikan tarif menjadi kebijakan yang tidak adil dan bijak. Apalagi, tarif PAM Jaya sudah mencapai level full cost recovery (FCR).
Sementara, dari sisi kebijakan publik, Tulus mengatakan bahwa hal yang terpenting adalah tarif yang adil dan berkelanjutan, baik bagi konsumen, operator, maupun lingkungan.
Karena merupakan komoditas publik yang esensial, kontribusi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta juga harus signifikan, misalnya memberikan dana public service obligation (PSO).
Sebagai gambaran, dana PSO yang digelontorkan ke sektor transportasi (Transjakarta) mencapai Rp 3,4 triliun pada 2024.
“Akses serta pasokan air bersih dengan harga terjangkau dan pelayanan yang andal merupakan hak asasi warga Kota Jakarta. Jadi, Pemprov Jakarta dan PAM Jaya wajib menyediakannya,” tegas Tulus.