KOMPAS.com — Kebijakan tarif impor tembaga sebesar 50 persen yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) diperkirakan tidak akan berdampak signifikan terhadap hasil produksi smelter nasional.
Langkah hilirisasi yang konsisten dan strategi diversifikasi pasar ekspor dinilai menjadi faktor utama yang memperkuat ketahanan industri tembaga dan tambang di Indonesia.
Riset dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ( FEB UI) mengungkapkan, ketergantungan terhadap pasar tunggal, seperti ke AS, telah mulai berkurang seiring dengan keberhasilan Indonesia mendorong ekspor produk hilir ke berbagai negara.
Hal itu terungkap dalam riset bertajuk “Kajian Dampak Hilirisasi Industri Tambang terhadap Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan: Tembaga, Bauksit, dan Pasir Silika”.
Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI Nur Kholis mengatakan, perluasan ekspor ke negara-negara baru dan penguatan perjanjian perdagangan bebas dinilai mampu mengurangi risiko ketergantungan pada pasar tertentu.
Baca juga: Produksi Katoda Dimulai, Smelter PTFI Jadi Contoh Hilirisasi Pro-Rakyat
Langkah tersebut juga memperkuat daya saing produk hilir Indonesia di kancah global.
Nur Kholis menilai, perluasan kerja sama internasional akan membuka pasar ekspor baru dan investasi yang masuk ke Indonesia.
“Pemerintah saat ini menargetkan negara-negara di Eropa dan Afrika sebagai pasar ekspor dengan market yang besar,” katanya dalam siaran pers, Rabu (23/7/2025).
Tren positif itu tercermin dari peningkatan signifikan ekspor produk turunan tambang. Salah satunya adalah pasir silika yang meningkat dari 3,54 juta dollar AS pada 2021 menjadi 58,61 juta dollar AS pada 2023.
Sementara itu, ekspor produk photovoltaic, komponen penting dalam teknologi energi terbarukan, menunjukkan lonjakan dari 175,82 juta dollar AS pada 2022 menjadi 228,21 juta dollar AS pada 2023.
Nur Kholis menyebutkan, pengembangan produk-produk tersebut tidak hanya meningkatkan potensi ekspor Indonesia, tetapi juga memperkuat daya saing industri nasional di pasar global.
Baca juga: Bos Freeport Sebut Smelter Gresik Bakal Produksi 600.000 Ton Katoda Tembaga Akhir 2025
“Dengan memanfaatkan sumber daya lokal secara optimal, hilirisasi pasir silika dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan devisa negara dan mendorong transformasi ekonomi ke arah yang lebih berkelanjutan dan berteknologi tinggi,” jelasnya.
Namun, keberhasilan hilirisasi juga menuntut kesiapan sumber daya manusia (SDM). FEB UI mencatat, dibutuhkan sekitar 16.000 tenaga kerja kompeten setiap tahunnya untuk menopang sektor manufaktur dan hilirisasi.
Untuk itu, sinergi pemerintah pusat dan daerah dalam menyediakan pelatihan berbasis kebutuhan industri sangat diperlukan.
“Pengembangan usaha berbasis komunitas juga menjadi langkah strategis agar manfaat hilirisasi benar-benar dirasakan oleh masyarakat lokal,” tambah Nur Kholis.
Secara keseluruhan, hilirisasi industri tambang menjadi pilar penting dalam transformasi ekonomi nasional.
Baca juga: Freeport Tak Khawatir Trump Kenakan Tarif 50 Persen Tembaga RI, Mayoritas Dikirim ke China
Tak hanya memberikan nilai tambah secara ekonomi, hilirisasi industri tambang juga mendorong Indonesia menuju industri berteknologi tinggi dan berorientasi ekspor yang lebih beragam dan tangguh.