KOMPAS.com - Perusahaan Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) telah merampungkan akusisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) pada akhir 2018 lalu.
Sejumlah pihak mempertanyakan manfaat dan pemasukan keuntungan Inalum saat PTFI baru akan mulai membagikan deviden pada 2021 mendatang.
Pertama, proses peralihan dari pertambangan terbuka ke pertambangan bawah tanah dari 2019 ini hingga 2022 membuat operasional diperkirakan tidak dalam kondisi normal. Dengan demikian, produksi diprediksi turun.
Menurut dokumen Inalum, laba bersih PTFI diperkirakan akan turun drastis dibawah 1 miliar dollar AS sebelum menanjak kembali ke kisaran di atas 2 miliar dollar AS pada 2023 hingga 2041.
Sebelumnya, Inalum telah mengeluarkan 3,85 miliar dollar AS untuk meningkatkan saham mereka di PTFI dari 9,36 persen menjadi 51,2 persen. Melalui porsi kepemilikan tersebut, Inalum diproyeksikan akan mendulang sekitar 18 miliar dollar AS dari laba bersih PTFI dari 2023 hingga 2041.
Selain itu, berdasarkan perhitungan Inalum, emas di tambang Grasberg Kabupaten Mimika, Papua, diperkirakan tidak akan habis hingga 2070. Pasalnya, ada beberapa bagian di tambang tersebut yang sudah terbukti ada emasnya, tapi tidak akan didulang dalam waktu dekat.
Manfaat dan perhitungan
Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga Inalum, Rendi A. Witular menyatakan ada manfaat finansial dan nilai strategis dalam akusisi tersebut.
“Ini bisa jadi keahlian yang didapat Indonesia dalam mengelola tambang bawah tanah terumit di dunia. Keahlian tersebut nantinya akan diterapkan dalam pengelolaan tambang serupa di beberapa daerah potensial di luar Papua yang saat ini sedang dikaji oleh Inalum,” tutur Rendi dalam siaran tertulis, Jumat (15/2/2019).
Terkait tuduhan akan harga yang mahal yang harus dibayar, dalam dokumen Inalum dijelaskan bahwa harga 3,85 miliar dollar AS yang disepakati dengan Freeport McMoRan pada pertengahan 2018 lalu sebenarnya sangat murah.
Detilnya, Enterprise Value (EV) 100 persen PTFI berdasarkan harga saat itu adalah 8,44 miliar dollar AS, dengan proyeksi Net Profit pada 2018 2 miliar dollar AS. Dengan begitu, diperoleh Price Earning (P/E) Ratio PTFI sebesar 4,18x.
P/E ratio PTFI sebesar 4,18x masih lebih rendah bila dibandingkan dengan P/E Ratio FCX di bursa saham sebesar 10,65x dan rata-rata P/E ratio di BEI sebesar 14,8x.
Kerjasama juga dilakukan dengan Behre Dolbear Australia dan Lembaga Afiliasi Penelitian Indonesia (LAPI) ITB untuk mengkaji cadangan, lingkungan, dan operasional tambang PTFI.
Hubungan Rio Tinto
Salah satu kesepakatan terkait harga yang pembahasannya cukup alot antara pemerintah, Inalum, dan FCX, yang berkedudukan di Amerika Serikat, adalah terkait hak partisipasi (participating interest) sebesar 40 persen yang dimiliki Rio Tinto Di PTFI. Rio Tinto sendiri merupakan raksasa pertambangan Australia dan Inggris.
Hak partisipasi tersebut sudah dikonversi menjadi saham di PTFI sebagai upaya Indonesia mengendalikan saham mayoritas sebesar 51 persen di perusahaan tersebut.
Dikutip dokumen Inalum, skema hak partisipasi tersebut intinya memberikan hak atas hasil produksi dan kewajiban atas biaya operasi PTFI sebesar 40 persen sampai 2022 dengan batasan produksi tertentu (metal strip).
Mulai 2023 Rio Tinto akan mendapatkan hak dan kewajiban penuh sebesar 40 persen dari produksi tanpa batasan tertentu hingga 2041.
Kerjasama operasi ini walau tidak mempengaruhi komposisi saham PTFI, tetapi dapat mempengaruhi komposisi pembagian hasil produksi PTFI.
Misalnya, jika produksi PTFI 100 ton, maka Rio Tinto akan langsung mendapat 40 ton dan sisa 60 ton dibagi antara Inalum dan FCX yang hasil akhirnya tercermin dalam deviden.
“Jika masalah hak partisipasi ini tidak diselesaikan maka setelah 2022, Inalum dan FCX hanya mendapatkan 60 persen dari produksi PTFI karena 40 persen sudah langsung dialokasikan untuk Rio Tinto,” kata Rendi.
Skema kerjasama operasi antara Rio Tinto dan FCX tersebut sudah disetujui oleh pemerintah Indonesia sejak zaman Soeharto berkuasa.
Pada era orde baru, Menteri ESDM IB Sudjana dan Menteri Keuangan Marie Muhammad secara tertulis menyetujui kesapakatan tersebut pada 1996.
Karenanya, persetujuan ini pun menimbulkan kesulitan yang mesti segera diselesaikan.
“Sulit membayangkan bahwa kedua menteri senior ini memberikan persetujuan tanpa kajian hukum yang lengkap,” kata Rendi.
Informasi terkait kerjasama tersebut sudah ada dalam laporan keuangan tahunan audited FCX dan PTFI sejak 1996.
Sebagai perusahaan terbuka, FCX setiap tahunnya mencantumkan informasi tersebut di laporan tahunannya yang dapat diunduh di website mereka.
Salah satu isu yang dipermasalahkan juga terkait dengan kerjasama Rio Tinto yang mengecualikan Blok A dalam skema tersebut. Blok A adalah konsesi yang dioperasikan oleh PTFI.
“Mengenai anggapan kerjasama Rio Tinto hanya berlaku di Blok B. Ini terjadi karena kekurang telitian para pengamat dalam membaca surat Menteri ESDM IB Sudjana yang memberikan persetujuan ke Rio Tinto di atas volume "metal strip" tertentu untuk Blok A. Mungkin karena surat ditulis dalam Bahasa Inggris jadinya mereka bingung,” kata Rendi.