JAKARTA, KOMPAS.com – Masih terekam jelas dalam ingatan kengerian pandemi Covid-19 yang melanda pada 2020. Kala itu, ketakutan tertular virus mematikan membatasi ruang gerak banyak orang.
Banyak yang takut keluar rumah untuk beraktivitas, apalagi bepergian menggunakan transportasi umum. Situasi itu seperti mimpi buruk bagi penyedia layanan perjalanan, termasuk kereta api.
Namun, di tengah kekacauan tersebut, Didiek Hartantyo berani mengambil langkah menjadi masinis PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, saat ditunjuk sebagai Direktur Utama pada 8 Mei 2020.
Di tengah gelombang krisis serta situasi nasional masih diselimuti ketidakpastian, ia menerima amanah besar, yakni menyelamatkan roda perkeretaapian nasional dari potensi kelumpuhan.
Baca juga: KAI Jember Hadirkan Program Schooliday Sambut Libur Sekolah, Ada Diskon Tiket 20 Persen
Baru saja menjabat, ia langsung dihadapkan pada kenyataan bahwa hampir seluruh layanan kereta penumpang harus dihentikan. Belum lagi, pendapatan yang terancam turun, stasiun-stasiun lengang, dan ribuan pekerja menghadapi ketidakpastian.
Meski begitu, Didiek memilih untuk tidak panik. Ia menolak opsi pemutusan hubungan kerja karyawan. Ia justru membentuk tim kecil untuk memantau keuangan perusahaan secara mendetail, memperkuat bisnis perusahaan di bidang logistik, dan memulai transformasi sistem dari dalam.
Didiek selalu hadir bukan hanya di ruang rapat, tetapi juga di jalur-jalur operasional, memastikan bahwa roda tetap bergerak meski perlahan.
Kisah kepemimpinan Didiek membawa PT KAI keluar dari jurang pandemi itu pun diabadikan dalam buku Masinis yang Melintasi Badai, yang diluncurkan di Menara Kompas, Jakarta, Rabu (15/5/2025).
Baca juga: Budaya Keselamatan KAI Capai Level Proaktif, Dirut Didiek : Hasil Sinergi Seluruh Elemen
Buku yang ditulis oleh Zulfikar Akbar dan Wisnu Nugroho serta diterbitkan oleh Kompas itu tidak seperti buku biografi pada umumnya.
Karya itu tidak dibangun dari wawancara langsung dengan Didiek, melainkan dari cerita-cerita mereka yang bekerja bersamanya, merasakan keputusannya, dan menyaksikan dampaknya.
“Buku ini tidak dibuat dari narasi Pak Didiek sendiri, tetapi dari orang-orang yang terkena cahaya kepemimpinannya,” ujar Wisnu dalam acara peluncuran.
Wisnu menuturkan bahwa keputusan untuk tidak mewawancarai langsung sang tokoh utama justru membuka ruang bagi suara-suara yang merasakan dampak nyata dari kepemimpinan Didiek.
Menurutnya, cerita dalam buku itu lahir dari interaksi, testimoni, hingga pengamatan harian yang mengalir dari bawah ke atas. Sebuah pendekatan yang dinilai lebih tulus dan jujur.
“Pemimpin sejati adalah mereka yang bekerja dalam hening. Heningnya Pak Didiek justru lantang dalam hasil,” katanya.
Dalam sesi gelar wicara peluncuran bukunya, Didiek mengisahkan awal pandemi sebagai tantangan tersulit dalam kariernya.
Ia bercerita, situasi berubah drastis, mulai dari jumlah penumpang merosot tajam, pendapatan anjlok, dan operasional hampir terhenti. Namun, dari tekanan itu lahir keteguhan dan arah yang jelas.
“Kereta api tidak hanya bertransformasi secara digital dan organisasi, tapi juga secara budaya,” ucapnya.
Pandemi, kata Didiek, menjadi ujian nilai dan kemanusiaan sekaligus kesempatan mendewasakan seluruh pihak, termasuk KAI.
Selain itu, imbuhnya, pandemi juga harus dipandang sebagai pelajaran besar yang mengajarkan pentingnya ketahanan, kecepatan berpikir, dan keberanian untuk mengambil keputusan sulit.
Selama masa krisis, Didiek menerapkan empat strategi utama untuk memastikan bisnis tetap berjalan sambil tetap melindungi semua orang yang terlibat di dalamnya.
Pertama, menjaga likuiditas perusahaan. Didiek menjelaskan, pendapatan KAI turun drastis dari Rp 2,6 triliun per bulan menjadi sekitar Rp 2 triliun setahun. Maka dari itu, ia memutuskan memantau keuangan secara ketat, bahkan hingga ke arus kas mingguan.
Kedua, optimalisasi angkutan barang. Ketika penumpang tidak lagi dapat diandalkan, kereta barang menjadi tumpuan. Telur, air minum, pupuk, hingga bahan pokok diangkut demi menjaga kelangsungan perusahaan.
Ketiga, efisiensi menyeluruh. KAI berhasil menekan biaya hingga lebih dari Rp 6 triliun pada 2020. Hal ini berkat belanja nonesensial yang dikurangi, proyek-proyek ditinjau ulang, dan kerja sama dengan mitra dinegosiasi ulang.
Keempat, tanpa pemutusan hubungan kerja. Selama pandemi, KAI tidak melakukan pengurangan pegawainya yang mencapai lebih dari 25.000 orang. Hal ini sejalan dengan filosofi kepemimpinan Didiek yang menempatkan kemanusiaan di atas segalanya, terutama di tengah krisis pandemi yang penuh ketidakpastian.
“Protect our people. Itu komitmen kami. Tidak ada satu pun pegawai yang kami lepas,” tegasnya.
Pada acara peluncuran, Wisnu membacakan kutipan dari halaman 37 buku yang menurutnya merangkum kekuatan pola pikir yang diyakini Didiek.
"Saat itu, apa pun yang memungkinkan membawa pendapatan tetap kami lakukan. Akhirnya, terlepas besarnya masalah di depan mata, mindset yang kita bangun saat berhadapan dengan masalah yang akan paling menentukan.”
Baca juga: Dirut KAI Isi Kuliah Umum di FEB UI, Bahas Perkeretaapian yang Ramah Lingkungan
Kutipan itu menegaskan bahwa kekuatan kepemimpinan Didiek berawal dari cara pandang dalam memaknai masalah dan peluang, bukan sekadar dari strategi teknis semata.
Pada kesempatan itu, Didiek juga mengatakan bahwa ia mengusung tiga filosofi dalam kepemimpinannya, yakni adaptif, solutif, dan kolaboratif.
Menurutnya, filosofi itu akan tetap relevan seiring dengan perkembangan dan tantangan zaman. Bahkan, penerapan filosofi ini mampu memberikan nilai tambah, baik bagi perusahaan maupun ekonomi nasional.
Selain cerita tentang Didiek dari pengamatan penulis, buku itu juga mengajak pembaca mengenal Didiek dari perspektif orang-orang yang bekerja bersamanya.
Salah seorang masinis, Muhammad Ainul Yakin, menceritakan bahwa di tengah ketakutan pandemi dan maraknya PHK, KAI tetap menjaga dirinya dan keluarganya.
“Kami dijaga. Tidak ada yang di-PHK. Itu membuat kami merasa dihargai,” ujarnya.
Sementara itu, Zulfikar, penulis buku, menjelaskan proses penulisan yang bersifat natural dan jujur, berdasar cerita nyata dari para pegawai dan pengguna jasa.
Baca juga: KAI Raih 2 Penghargaan Bergengsi, Dirut KAI: Jadi Motivasi untuk Terus Berinovasi
“Kereta api bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah denyut nadi yang menyentuh banyak kehidupan,” katanya.
Proses penulisan buku Masinis yang Melintasi Badai berlangsung kurang dari tiga bulan. Zulfikar menegaskan, tidak ada narasi yang direkayasa, semua mengalir dari pengamatan dan pengalaman nyata.
“Saya hanya menuliskan apa yang saya lihat dan dengar dari mereka yang pernah bertemu Pak Didiek. Tidak ada yang dikarang,” ujar Zulfikar.