KOMPAS.com - Salah satu kontraktor PT Freeport Indonesia ( PTFI), Tina Komangal (43), menyatakan bahwa pengalamannya sebagai mitra perusahaan pertambangan mineral tersebut telah memberikan banyak pembelajaran.
“Saya belajar banyak hal sejak menjadi mitra Freeport Indonesia. Saya bersyukur meski tidak sekolah, saya dibimbing hingga bisa punya usaha sendiri dan hasilnya bisa dinikmati bersama keluarga,” ucap Tina mengawali ceritanya seperti dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (12/2/2024).
Pada siang itu, Tina mengenakan kemeja batik dan celana hitam, dilengkapi dengan rompi dan helm sebagai alat pelindung diri (APD).
Perempuan yang berasal dari Kampung Waa Banti, Distrik Tembagapura, Mimika, ini sedang melakukan pemeriksaan tanaman cabe yang tersebar di kawasan MP-21, yaitu Pusat Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati yang dikelola oleh PTFI.
Baca juga: Lestarikan Keanekaragaman Hayati, Antam Gencarkan Konservasi Darat dan Laut
Di kawasan reklamasi tailing dan percontohan tersebut, sebagian lahan endapan tailing telah diubah menjadi lahan produktif melalui berbagai program reklamasi yang mencakup pertanian tanaman semusim, hortikultura, tanaman perkebunan, peternakan sapi, kehutanan, dan budi daya perikanan air tawar.
Tailing adalah sisa pasir dari proses pengolahan batuan bijih tambang di pabrik pengolahan PTFI. Limbah industri pertambangan ini diendapkan dan dikelola di daerah yang telah ditetapkan di area dataran rendah.
Tina yang merupakan warga Suku Amungme telah bekerja sebagai kontraktor di PTFI sejak 2012.
Bersama dengan delapan karyawan lainnya, ia bertanggung jawab atas pengelolaan pertanian dan penghijauan di area tersebut. Tugasnya meliputi penanaman dan perawatan tanaman tomat, cabe, kacang panjang, terong, pepaya, pisang, dan berbagai buah-buahan lainnya.
Baca juga: Resep Lodeh Terong, Bisa untuk Lontong Cap Go Meh
“Meski lahan (tempat) bercocok tanam ini pasir tailing, tetapi sayuran dan buah-buahan bisa tumbuh baik dan aman dikonsumsi,” kata Tina.
Sebelum bergabung dengan PTFI, Tina pernah bekerja sebagai Penerjemah Bahasa Amungme di Rumah Sakit (RS) Banti.
“Dulu saya membantu orang-orang dari (daerah) pegunungan yang mau berobat ke rs. Mereka sulit berkomunikasi dengan petugas rs. Saya yang membantu mereka cerita keluhan sakitnya kepada petugas kesehatan,” kata Tina yang mengaku dari profesinya ini bisa belajar berbahasa Indonesia dengan baik.
Baca juga: Komitmen Indonesia Lawan TBC, Buat Komunitas Bantu Penyintas
Selama sembilan tahun, Tina telah menjabat sebagai juru bahasa, sampai akhirnya PTFI membuka pelatihan bagi calon pengusaha dari tujuh suku di sekitar kawasan pertambangan.
“Di Freeport, saya belajar mengelola keuangan, mendirikan usaha, dan mengatur karyawan. Orang-orang Freeport sudah (menjadi) guru bagi saya, (mereka) mendampingi saya sampai saya bisa bekerja (mandiri),” imbuhnya dengan mata berkaca-kaca.
Kini, sudah berlalu 12 tahun sejak Tina bermitra dengan Freeport. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, ia telah berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga ke universitas, mampu menyediakan rumah sehat untuk keluarganya, dan memiliki kendaraan sendiri.
“Itu yang saya pikir tadinya hanya bisa didapatkan orang yang sekolah tinggi (universitas). Tetapi, saya bisa buktikan, (bahwa) saya mampu,” tutur Tina.
Baca juga: Dirut PTFI Sebut Tembaga Bakal Jadi Mineral Masa Depan
Seperti Tina, kehidupan Frederikus Okoare (42) juga terus meningkat sejak bergabung sebagai mitra PTFI.
“Dulu, saat belum bekerja, saya berpikir bagaimana cara mendapatkan legalitas usaha. Lalu saya ikut pelatihan (yang diselenggarakan) oleh PTFI,” kata pria Suku Kamoro itu.
Setelah mengikuti serangkaian pelatihan, Frederikus mendapatkan pekerjaan sebagai kontraktor di bagian pengelolaan lingkungan PTFI.
Frederikus mulai bergabung sebagai mitra PTFI pada 2013, dan saat ini telah memiliki 18 karyawan yang semuanya adalah putra Papua.
Baca juga: Sekolah Adat Papua untuk Seniman Muda
“Awalnya kami bertugas menanam pohon sagu, pohon cemara, dan mangrove,” katanya.
Seiring berjalannya waktu dan kemitraan yang terus berlanjut, saat ini Frederikus dan timnya bertugas di Muara Ajkwa untuk menyiapkan lahan endapan tailing menjadi kawasan mangrove yang baru.
Sementara itu, Direktur and Executive Vice President (EVP) Sustainable Development and Community Relations PTFI Claus Wamafma menyatakan bahwa dalam mengoperasikan usaha pertambangan, perusahaan ini memberikan perhatian khusus pada pengembangan masyarakat Amungme, Kamoro, serta lima suku kerabat lainnya dan masyarakat Papua pada umumnya.
Baca juga: Pj Bupati Konawe: Kecamatan Routa Akan Menjadi Wilayah Hilirisasi Industri Pertambangan
“Masyarakat di sekitar area pertambangan adalah prioritas (bagi kami). Berbagai upaya terus kami lakukan untuk memastikan mereka dapat terus bertumbuh bersama PTFI, membangun ekonominya, meningkatkan kualitas hidupnya,” katanya.
Dalam menjalankan bisnisnya, Claus menegaskan bahwa PTFI berkomitmen untuk menerapkan praktik pertambangan yang baik, serta melaksanakan investasi sosial dan lingkungan yang berkelanjutan.
“Selain itu, PTFI juga melakukan program-program pengembangan dan pemberdayaan bagi masyarakat asli Amungme dan Kamoro, serta lima suku kerabat mereka, yaitu Dani, Damal, Mee, Moni, dan Nduga, melalui pola kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah (pemda), lembaga adat, yayasan, dan lainnya,” imbuhnya.