KOMPAS.com - Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman menegaskan, divestasi Freeport Indonesia (PTFI) dengan cara melepas saham melalui pasar modal atau Initial Public Offering (IPO) adalah tidak tepat.
Ferdy mengatakan itu karena tidak setuju dengan pernyataan mantan Menteri ESDM Sudirman Said yang menganjurkan agar skema divestasi PTFI melalui IPO.
“Kalau dilepas melalui mekanisme IPO yang untung hanya pengusaha kaya. Pelaku pasar modal hanya 0,6 persen penduduk Indonesia,” kata Ferdy di Jakarta dalam keterangan tertulis yang Kompas.com terima, Rabu (27/2/2019).
Sudah begitu, kata Ferdy, banyak investor yang membeli saham di pasar modal adalah investor asing. Ini akhirnya memicu terjadinya capital outflow besar-besaran ketika terjadi krisis di Indonesia.
Baca juga: Pasca Akuisisi, Inalum Beberkan Keuntungan dari PT Freeport Indonesia
Ferdy yang merupakan penulis buku “Freeport: Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara” juga mengatakan, mekanisme pelepasan melalui pasar modal tak pernah dianjurkan oleh UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara.
“Jika melalui IPO, saham Freeport akan menjadi rebutan pengusaha lokal yang memiliki banyak uang dan menjadi incaran para politisi,” kata dia.
Ferdy kemudian memberikan contoh pengalaman pelepasan saham Garuda Indonesia (GIA). Pada saat itu, mantan Bendahara Partai Demokrat, M. Nazarudin memborong 400 juta saham atau Rp 300 miliar yang dilakukan 5 perusahaan miliknya.
Tak cuma itu, kata dia, setelah IPO GIA, salah satu pengusaha kelas kakap mendapat pinjaman credit suisse dan memborong 351.6 juta lembar atau 10 persen saham GIA.
“Fakta itu mau menunjukkan bahwa opsi divestasi saham PTFI melalui IPO bukan solusi cerdas, tetapi solusi instan,” kata Ferdy.
Lebih lanjut, ia menyanggah pula soal pernyataan Sudirman bahwa investor bisa membangun smelter tembaga di PTFI tanpa perlu melakukan perpanjangan kontrak.
Menurut Ferdy, perpanjangan kontrak dan pembangunan pabrik smelter di PTFI sampai tahun 2041 adalah keputusan bisnis.
“Coba Sudirman Said tanya investor. Investor mana yang mau bangun pabrik smelter tembaga dengan dana besar mencapai 2,3 miliar dolar AS, jika izin tidak diperpanjang. Kok logikannya kebalik ya, bangun smelter dulu baru diperpanjang. Pantas dulu negosiasi kontrak terkait divestasi dengan Freeport enggak jalan,” terang Ferdy.
Maka dari itu, Ferdy menegaskan bahwa memperpanjang kontrak Freeport sampai tahun 2041, dan mekanisme korporasi yang dilakukan pemerintah untuk mengambil alih saham PTFI adalah langkah paling elegan.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia melalui perusahaan Holding Industri Pertambangan Inalum resmi memiliki 51,23 persen saham PTFI pada akhir tahun lalu.
Pemerintah kemudian menerbitkan Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan catatan, perpanjangan kontrak sampai tahun 2041, wajib membangun smelter tembaga dan jaminan kepastian fiskal dan investasi bagi Freeport.
Baca juga: Luhut: Presiden Jokowi Tak Pernah Ada "Deal" Tertentu dengan Freeport
Menurutnya, perpanjangan kontrak sampai tahun 2041 masuk akal, karena Inalum masih membutuhkan Freeport mengolah tambang underground yang berteknologi dan infrastruktur canggih.
Tambang underground di Grasberg dengan metode block caving, menurut para geologi pertambangan memang sangat berisiko tinggi dan membutuhkan dana investasi besar.
Melalui rilisnya Inalum menyebutkan, banyak geologi kelas dunia mengatakan, tambang underground di Grasberg tak boleh berhenti. Sebab sekali berhenti, akan meningkatkan tegangan dan mengakibatkan runtuhnya terowongan.
Itulah mengapa Freeport di tambang underground membangun terowongan bawah tanah sampai ribuan kilometer. Jika proses tambang underground terhenti, akan mengalami kerugian besar mencapai 5-10 miliar dolar AS.