KOMPAS.com - Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera ( JTTS) yang berlaku mulai 25 Maret 2024.
Perpres tersebut memberikan ketentuan hukum terkait penambahan ruas jalan tol, target, skema pembiayaan ruas tol, termasuk penugasan kepada PT Hutama Karya (Persero) untuk pengusahaan proyek JTTS.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, kebijakan pembangunan infrastruktur, khususnya tol, umumnya membawa dampak ekonomi yang bagus untuk daerah sekitarnya.
Percepatan pembangunan JTTS memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah Sumatera dan diharapkan dapat mempercepat distribusi barang dan jasa.
Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai faktor agar manfaat ekonomi dari pembangunan jalan tol tersebut dapat dirasakan masyarakat luas.
Baca juga: Serap PMN Rp 85,5 Triliun, Hutama Karya Bangun 809 Kilometer JTTS
“Saya berharap mudah-mudahan tidak terlalu cepat, tetapi ditata dengan baik. Karena ini faktor alam, proyek ini menimbun lahan untuk jalan tol. Timbunan itu harus matang,” ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (12/6/2024).
Agus mengatakan, pemerintah harus belajar dari Trans-Jawa yang tidak matang, sehingga beton statis yang harusnya tahan tiga tahun sudah rusak saat menginjak dua tahun.
Lebih lanjut, Agus juga meminta pemerintah dan Hutama Karya menghitung dampak sosial dan ekonomi di sekitar jalan tol. Sebab, pembangunan jalan tol dapat mengubah dinamika ekonomi di wilayah sekitarnya.
Menurutnya, terdapat kekhawatiran jika perencanaan pembangunan infrastruktur pendukung belum matang, seperti penentuan rute, rest area, dan fasilitas lainnya.
Dia mencontohkan, adanya tol di Jawa turut membuat beberapa bagian di Jalur Pantura sepi. Ini berdampak kepada masyarakat yang berjualan di sekitar jalan ini.
Baca juga: 15 Ruas Jalan Tol Trans-Sumatera (JTTS) yang Resmi Beroperasi di 2024
Meskipun pemerintah telah menyiapkan rest area untuk masyarakat yang terdampak, Agus menilai jumlahnya kurang dan mereka harus membayar sewa.
“Saya berharap Hutama Karya melakukan studi antropologi di ruas jalan yang dibangun, meskipun Trans-Sumatera lintas timur dan barat lebih banyak dilewati truk-truk,” ujarnya.
Dia menegaskan, studi antropologi sosial diperlukan untuk memahami dampak sosial dari pembangunan jalan tol dan mengantisipasi masalah yang mungkin timbul.
Menurutnya, studi antropologi penting karena dapat melihat peta persebaran penduduk, pekerjaan, dan budaya yang berguna untuk memberikan penanganan bagi masyarakat yang terdampak.
“Itu harus ada data antropologi sosial, di mana orang ini, terus diapain. Harus ada mitigasinya, kalau tidak pembangunan jalan tol menjadi pusat kemiskinan baru,” katanya.
Perpres 24 Tahun 2024 mempercepat pembangunan jalan tol di Sumatera, termasuk Sumatera Utara dengan Aceh dan Jambi. Selain itu, ada pula pengusahaan 24 ruas jalan tol.
Baca juga: Demi Mudik Lebih Nyaman, LED Dipasang di Lebih dari 3.000 Titik JTTS
“Kalau mau bangun yang ujung Aceh sampai Sumatera Utara oke untuk ekonomi. Jalan Banda Aceh ke Medan itu jalan arterinya rame loh yang jualan. Terus ke Lhokseumawe dan seterusnya. Nah, kalau itu nanti dibangun tol ke sana, ini orang-orang ini ke mana, jualannya, itu yang mesti dipikirkan,” ujarnya.
Agus menambahkan, pemerintah dan Hutama Karya perlu memikirkan langkah jangka pendek dan jangka panjang untuk mengungkit ekonomi di sekitar jalan tol.
Dia mencontohkan, Jalan Tol Bitung-Manado dibangun karena pemerintah akan membentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Namun, pembangunan KEK itu dibatalkan sehingga jalan tersebut kini sepi.
Agus meminta pembangunan JTTS juga diikuti dengan pembangunan bangkitan-bangkitan ekonomi di sekitar jalan.
“Kalau tidak ada bangkitan ekonomi, ya masyarakatnya tidak tambah kaya. Jadi, jalan tol itu dibangun supaya ada bangkitannya. Nah, diciptakanlah bangkitannya, ada nggak kawasan industri? Tadi contoh Manado-Bitung, akhirnya nggak ada yang lewat,” katanya.
Baca juga: Jokowi Resmikan Dua Ruas JTTS, Akses ke Danau Toba hingga KEK Sei Mengkei
Terkait hal itu, Agus meminta Hutama Karya menggelar pembicaraan dengan kalangan industri agar dalam 5 atau 10 tahun ke depan jalan tersebut dilalui pelaku industri KEK, perdagangan, perkebunan, hingga kawasan wisata.
“Misalnya, sekarang di Bakauheni, Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Indonesia (ASDP) membangun taman hiburan. Dari sekitar Lampung pasti akan sering ke situ kalau taman hiburannya bagus dan menarik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Agus mengatakan, skema pembiayaan dalam Perpres 24 Nomor 2024 tidak disebutkan dengan rinci dan akan menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).
Dalam hal ini, Hutama Karya merupakan pihak yang membangun dan mengoperasikan, termasuk dalam hal perawatan yang mahal jika pengerjaan dilakukan asal cepat.
Dia mengingatkan, skema KPBU memiliki risiko finansial bagi badan usaha milik negara (BUMN) yang terlibat, termasuk beberapa perusahaan BUMN di bidang konstruksi lain yang mengalami masalah tersebut.
Baca juga: Hutama Karya Garap Dua Proyek Junction Tol Trans-Sumatera, Kelar Tahun 2025
“Dengan penugasan ini, pemerintah hanya, misal urusin untuk tanah, tetapi untuk konstruksinya belum sehingga perusahaan harus cari sendiri,” ujarnya.
Meskipun pekerjaan Hutama Karya sedang ramai, seperti Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) dan di Priuk, kekuatan BUMN ini terbatas karena aset dan liability serta berbagai macam instrumen finansialnya belum tentu sedang baik.
Agus berharap, pengerjaan JTTS dilakukan dengan normal sehingga Hutama Karya tidak terjebak pada persoalan perawatan dan operasional yang menjadi mahal. Sementara itu, lalu lintas harian rata-rata (LHR) belum bisa banyak.
“Kontraktor waktu bangun kan pinjam uang dari bank. Ketika sudah ditentukan berapa LHR-nya tidak mencukupi, dia harus menomboki, enggak tahu apakah jual obligasi atau apa,” ujarnya.
Perpres 24 Nomor 2024 memperluas jangkauan Trans-Sumatera dan baik untuk Hutama Karya karena pembiayaan tol Sumatera mahal.
Baca juga: Hutama Karya Kantongi Kontrak Baru Rp 4,05 Triliun, Didominasi Proyek SDA
Terkait hal itu, Agus meminta pengembang yang berdiri pada 1961 itu menyelesaikan ruas utama tol, yakni dari selatan sampai ke Banda Aceh Utara.
“Bukan di cabang-cabang. Kalau dilihat di-list, itu banyak cabang-cabangnya. itu belakangan saja. Yang penting jalur utamanya selesai. Itu saya, tidak tahu gimana politiknya, tidak tahu ke samping kiri kanan,” ujarnya.
Dia menyebutkan, penting bagi Hutama Karya untuk melakukan perencanaan yang matang dan memastikan bahwa proyek tersebut tidak hanya selesai tepat waktu, tetapi juga memiliki kualitas yang baik.
“Evaluasi saya selama ini, pembangunan infrastruktur itu jatuhnya atau jebolnya di soal tanah konstruksinya. Misalnya, bikin bangunan jalan tol dengan semen, tetapi batunya tidak di-crossing, tidak diremat atau dihancurkan sehingga semen tidak mengikat batu itu,” ujarnya.
Di sisi lain, ketika ada truk-truk over dimension/over loading (ODOL) yang melewati jalan tersebut akan membuatnya cepat rusak karena pengurukan tanah di awal konstruksi yang masih berongga akibat waktu pembangunan yang cepat.
Baca juga: Waskita Karya Bakal Jadi Anak Usaha Hutama Karya pada September 2024
“Penyebab rusak karena ada ODOL. Pemerintah belum bisa menghentikan ODOL. Nah, jadi khawatir kalau di tengah Sumatera ODOL juga akan merajalela,” katanya.
Agus juga mengapresiasi realisasi proyek pembangunan Hutama Karya yang telah mengerjakan lebih dari 1.000 kilometer (km).
“Selama ini, sih, baik-baik saja, cukup dahsyat gitu. Saya minta hati-hati soal finansialnya karena metode yang digunakan pemerintah adalah KPBU,” ucapnya.