KOMPAS.com – Direktur Wholesale and International Services PT Telkom Indonesia (Tbk) Dian Rachmawan mengatakan, pemerintah secara sah dapat melakukan intervensi terhadap platform Over The Top ( OTT).
Menurutnya intervensi itu dapat dilakukan baik langsung atau melalui regulator bila kedaulatan nasional (ekonomi, sosial, atau budaya) dianggap berisiko dengan adanya platform ini.
“Beberapa pemerintah dari beberapa negara bahkan sedang mempertimbangkan atau memberlakukan pajak atas pendapatan yang diperoleh dan dieksploitasi oleh OTT,” ujarnya seperti keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (11/8/2020).
Dia juga menyebut, regulasi diperlukan untuk memaksa OTT bekerja sama dengan operator jaringan supaya manfaat ekonomi negara yang lebih luas.
“Indonesia memang tidak mungkin memilih cara dengan memblokir beberapa layanan OTT, karena praktik ini dapat merusak tujuan regulasi utama seperti pilihan konsumen dan inovasi,” ujarnya.
Baca juga: Telkom Bantu Direktorat Jenderal Pajak Integrasikan Data
Dian mengatakan itu guna merespon fenomena disrupsi OTT yang menerjang sendi-sendi kedaulatan negara di bidang ekonomi, sosial dan budaya secara cepat dan masif.
Menurutnya, dunia konten, aplikasi, dan layanan internet berkembang pesat dan belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh dunia.
Selain memberikan manfaat, kemajuan ini juga mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendukung arus informasi yang bebas.
Namun, ada dua pendapat yang terpolarisasi terkait OTT. Pertama, ada yang beranggapan agar penyedia OTT tunduk pada lisensi dan regulasi, sama halnya dengan yang dikenakan kepada pelaku atau pemain tradisional.
Kedua, pendapat yang menyebut pendekatan seperti itu akan memiliki konsekuensi negatif yang tidak diinginkan pada ekosistem Internet lebih luas, termasuk pada pengembangan teknologi masa depan.
Baca juga: Polisi Gandeng Telkomsel untuk Sediakan SIM Card 4G Body Camera
“OTT adalah elemen penting, dan akan semakin penting, dari rantai nilai broadband. Inovasi dalam OTT telah menghasilkan layanan internet yang kaya dan beragam, dan telah mendorong permintaan konsumen untuk akses internet broadband,” ungkapnya.
Kemudian, lanjutnya, pada gilirannya OTT juga merupakan pendorong utama bagi operator jaringan untuk meningkatkan dan memperluas jaringan mereka.
Walau begitu, prinsip argumen yang meminta regulasi OTT segera dibuat adalah kenyataan bahwa OTT sama sekali tidak pernah membayar ongkos infrastruktur.
Pada saat yang sama, mereka bahkan menghilangkan pendapatan utama operator, yaitu voice dan messaging.
Sementara itu, pertumbuhan pendapatan dari kenaikan berlangganan data payload seluler dan jaringan tetap yang tidak mengenal terminologi payload, atau secara offset tidak mampu mencukupi penurunan pendapatan utama voice dan messaging.
Baca juga: Telkom Catatkan Laba Bersih Rp 10,95 Triliun di Semester I-2020
“Bagaimana operator jaringan dituntut untuk terus melakukan investasi jaringan untuk membuka akses wilayah yang begitu luas dengan ketidakmerataan infrastruktur seperti wilayah NKRI ini,” tanyanya.
Lebih lanjut, Dian menjelaskan, dukungan pada pemberian regulasi terhadap OTT karena regulasi saat ini asimetris.
Sementara itu, operator jaringan sering kali diatur secara ketat, sehingga pesaing digital besar ini tidak memiliki kewajiban regulasi apa pun.
Oleh karena sifatnya yang sangat cair dan global, maka OTT menikmati keuntungan yang luar-biasa dalam hal bebas pajak di hampir semua negara.
Baca juga: Ini Kata Telkom soal Kebocoran Data Pelanggan Telkomsel
Lain halnya dengan operator tradisional yang harus membayar Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP), pajak, dan Universal Service Obligation (USO).
“Saat ini ketimpangan posisi tawar operator jaringan Indonesia dengan OTT (seluruhnya adalah pemain global, bukan Indonesia) sangatlah kontras,” tegasnya.
Dia mencontohkan, Telkom, Telkomsel, dan operator lainnya dalam memberikan kepastian layanan akses cepat dengan latensi rendah kepada para pengguna internet terpaksa memberikan fasilitas penempatan server/kolokasi gratis sampai ke ujung (edge) kepada Facebook dan Google.
Dengan begitu, operator jaringan yang bukan OTT pun menjadi yang pertama harus berhadapan dengan komplain pelanggannya manakala akses internet mengalami hambatan.
Lebih lanjut ia menjelaskan, saat ini sektor periklanan (advertisement) juga sudah tersapu oleh duopoli OTT Google dan Facebook.
Baca juga: Bangkit dari Pandemi, Telkom Property Perkuat Peluang Digital
“Para agensi publisher dan advertiser mulai gulung tikar. Satu demi satu iklan di media cetak, TV, elektronik, videotron di jembatan penyeberangan; gedung; dan di jalan-jalan mulai kosong,” ujarnya.
Saat ini, semuanya beralih ke mesin iklan digital sangat pintar memilih dan menyodorkan iklan yang tepat sesuai profil individu pengguna Internet.
Bahkan, pada 2019 saja, Google membukukan keuntungan bersih dari bisnis iklannya sebesar Rp 1.500 triliun, sementara pasangan duopolinya, yaitu Facebook meraup Rp 1.000 triliun.
Absennya akuntabilitas dan regulasi ini tidak terbatas pada telekomunikasi, tetapi meluas ke sektor yang lain mulai dari Grab, Airbnb, dan Netflix.
Sebab, penyedia OTT saat ini tidak perlu tunduk pada kewajiban yang sama seperti operator lokal di negara berdaulat.
Baca juga: Aktivitas Media Sosial Disebut Mengancam Industri Periklanan
Tak hanya itu, beberapa negara yang berupaya memberlakukan peraturan tambahan kepada OTT selalu dikabarkan mendapatkan tentangan yang lumayan berat.
“Lobi-lobi para OTT sering mengatakan peraturan atau regulasi baru akan dapat menghambat inovasi, karena berbagai layanan internet dan perusahaan konten beragam dan cepat berubah,” tegasnya.
Terlebih, bila dibandingkan dengan rezim peraturan yang sering lambat bereaksi dan beradaptasi, serta statis dalam menghadapi kemajuan teknologi pesat.
Utamanya, hal ini berlaku pada teknologi masa depan yang belum ada saat ini; karena mereka akan tunduk pada model peraturan kuno yang mungkin tidak sesuai atau tidak masuk akal secara ekonomi atau peraturan.
Kemudian, konsekuensi negatif yang tidak diinginkan dapat menyebabkan ketidakpastian bisnis sebagai akibat dari aturan yang ambigu atau salah diterapkan.
Baca juga: Ada Pandemi Corona, Iklan Digital Menggeliat
“Di banyak kasus persaingan usaha sektor telekomunikasi, kita masih rajin berkutat pada masalah seperti penyalahgunaan kekuatan pasar yang signifikan (significant market power/SMP) oleh operator dominan,” kata Dian.
Selain itu, operator juga masih berkutat pada penetapan harga akses broadband yang tidak efisien ketimbang ancaman serius atas kedaulatan nasional yang ditimbulkan OTT.